Sunday, 15 November 2015

Bu Fauziah, Sang Lentera Surga



Bu Fauziah, Sang Lentera Surga
“Palupi.. Anak perempuan ibu yang hebat, semangat berjuang kamu pasti bisa! Chayyo! Hehehe, love you.”-Sepenggal Voice note Bu Fauziah-
.
Ada kerinduan yang tak mampu terbayar setiap kali mendengar voice note  dan membaca percakapan mesra via whatsapp messenger almarhumah. Logika ini begitu pandai memutar memori kebersamaan yang tersimpan dalam ruang kenangan hingga air mata mengalir tanpa jeda.    
Dalam perjalanan hidup ini, banyak guru terbaik yang mengajarkanku, tapi tak ada yang dapat menggantikan posisinya. Beliau bukan hanya sekadar guru Bahasa Indonesia, tapi malaikat yang tak pernah sekalipun kulihat ada kemarahan di wajahnya. Walaupun sudah enam tahun aku lulus dari jenjang SMP, beliau tetaplah  ibu keduaku yang selalu menjadi tempat paling nyaman untuk berbagi cerita baik mengenai pelajaran, kepenulisan maupun  kehidupan.
Beliau adalah penyemangat bagiku, karenanya saat ini aku mampu menerbitkan tulisan-tulisanku di media massa. Beliau tak pernah lelah mendukungku untuk bermain aksara. Masih sangat jelas dalam ingatan ketika aku duduk di kelas IX, beliau selalu menyuruhku untuk menulis dan selalu berkata, “Palupi tulisanmu bagus, coba kirimkan ke majalah Gaul nanti ibu berikan uang untuk ongkosnya.”
Sejak saat itu, aku selalu memiliki semangat untuk mengembangkan bakatku  dan memiliki keberanian mengirimkan karyaku sampai akhirnya ketika duduk di bangku SMK, tulisanku mulai dilirik media setelah berpuluh-puluh tulisan sebelumnya selalu menuai kegagalan. Pertama kali tulisanku terbit di Media Indonesia, aku langsung mengabarinya dan datang ke SMP 32, lalu dengan sangat bahagia beliau mengapresiasiku, “Nah, benarkan kamu pasti bisa! Ibu selalu yakin pada kemampuan dan kerja kerasmu. Selamat yaaah…”  
Beliau bukan hanya mengantarkan kesuksesanku dalam menulis, tapi beliau adalah salah satu kekuatanku untuk mampu menjadi Wakil 1 None Buku Jakarta Pusat 2014. Sore hari di tengah rintik hujan sebelum karantina aku mendatanginya dalam keadaan yang sangat lemah, karena merasa kompetisi ini terlalu berat dan menguras air mata. Dengan tenang, beliau mendengarkan ceritaku dan dalam tangisku beliau memelukku sambil berkata, “Pi... dalam hidup ini kita harus dihadapkan pada kerikil terjal untuk meraih kesuksesan...memang sakit tapi ibu yakin air mata yang kamu teteskan akan berubah menjadi tawa saat kamu dinyatakan sebagai juara, ibu tahu kamu pi.. kamu bukan seseorang yang gampang menyerah,  percaya deh! Allah selalu ada untuk kita.”
Sore itu sepertinya menjadi sore paling istimewa sebelum beliau menutup mata untuk selamanya. Empat bulan yang lalu, tepatnya tanggal 24 Juli 2015 di bulan Ramadan beliau meninggalkan dunia. Dengan senyum mengembang di wajahnya yang terbalut kain kafan, kupandangi dalam-dalam wajah ibu guru kebanggaanku tak lagi bernyawa. Isak tangis pecah mengiringi kepergiannya hingga ke pusara. Pada hari itu, sosok terbaik di SMPN 32 Jakarta telah kembali pada Sang Maha Pemilik Semesta.
Semua guru, murid dan alumnus SMPN 32 tak terkecuali aku begitu kehilangannya. Beliau guru terbaik yang tak pernah mengeluh walau telah bertahun-tahun kanker payudara menggerogoti tubuhnya. Tak banyak orang yang tahu akan sakitnya termasuk aku, karena beliau selalu andal menyembunyikan kesusahan demi berbagi keceriaan kepada setiap anak didiknya. Menurutku, Bu Fauziah adalah lentera surga yang akan selalu ada. Terimakasih Ibu, kelak aku akan bercerita pada Tuhan bahwa ilmu darimu mesti dihadiahi nirwana yang kau rindu.  

Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" http://lagaligo.org/lomba-menulis.