Monday 4 April 2016

MERAJUT MIMPI BERSAMA BIDIKMISI




“kemiskinan bukanlah takdir yang terus menghambat kita menapaki dunia, tapi kemiskinan merupakan warna yang selalu membuat kita semangat meraih cita “-Palupi Mutiasih BidikMisi UNJ 2013-
Aku merasa bangga dan tak percaya ketika kata-kata mutiara dalam menggambarkan kemiskinan versi diriku dan kukirimkan ke Twitter @BidikMisiUNJ, menjadi untaian motivasi yang dibuat banner di acara Kampung Bidik Misi Jilid 3 2014. Berhasil mendapatkan Bidikmisi adalah suatu anugerah luar biasa bagi anak dari seorang pembantu dan buruh sepertiku. Dulu, jangankan bermimpi untuk kuliah. Niat melanjutkan pendidikan ke SMA saja harus terkubur karena permintaan orangtua yang menyuruhku ke SMK dengan harapan anaknya ketika lulus langsung bekerja dan memperbaiki ekonomi keluarga.
Beasiswa Bidikmisi seperti lentera bagi ruang gelap yang selama ini mengurungku. Bidikmisi membuat palupi yang dulu hanya seorang pemimpi sekarang menjadi eksekutor untuk mimpi-mimpinya. Berkuliah di kampus hijau yang terkenal dengan motto“Building Future leader” dengan bidikimisi membuatku percaya bahwa tiada keterbatasan bagi manusia yang ingin menembus batas.

Bersama Bidikmisi aku belajar untuk bangkit dari sebuah keterpurukan. Wajah ibu yang kelelahan dalam tidurnya setelah seharian menjajakan jasa bersih-bersih dari rumah ke rumah dan wajah ayah yang pulang dengan noda hitam karena berkeliling memasang cctv menjadi penyemangatku untuk kuliah dengan sungguh-sungguh lalu membawa mereka dalam kehidupan yang lebih cerah. Tikus-tikus yang selalu mengganggu tidur keluargaku setiap malam, menjadi motivasi untuk mengusir mereka dengan membangun rumah yang indah sehingga ada surga yang selama ini didambakan.
Menjadi penerima Bidikmisi UNJ tidak membuatku terlena dengan kenikmatan kuliah gratis dan subsidi setiap bulan yang diberikan pemerintah. Namun, menjadi penerima Bidikmisi merupakan tantangan bagiku. Ada uang rakyat Indonesia yang diamanahkan kepada aku dan beribu-ibu mahasiswa lain yang beruntung mendapat Bidikmisi. Maka berprestasi menjadi harga mati bagi penerima bidikmisi karena menurutku, Prestasi adalah implementasi dari setiap rasa syukur untuk nikmat kuliah dan mendapatkan bidikmisi”
Satu-persatu kesempatanku melebarkan sayap baik di kampus maupun di luar kampus berdatangan seiring doa dan harapan yang kupanjatkan. Tak peduli seberapa berat beban yang ada pada pundakku dengan semangat menggenggam bidikmisi aku memaksimalkan diri untuk mencapai prestasi.
Aku juga bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang senantiasa mendukungku untuk mengeksekusi mimpi-mimpi yang tertulis di dinding harapan. Memang benar kata pepatah, orang hebat tidak lahir sendirian namun ada orang-orang dibalik layar yang menjadi faktor keberhasilan mereka menggapai puncak kesuksesan.
Di tingkat pertama kuliah, aku mendapat kesempatan menjadi delegasi UNJ dalam acara kepemudaan di Wakatobi dan terpilih menjadi Duta Pariwisata Wakatobi 2014-2016. Di Pulau yang terkenal dengan nirwana bawah lautnya, aku bertemu dengan puluhan mahasiswa hebat dari seluruh nusantara. Ada Fanbul mahasiswa UII jogja dengan jiwa sosialnya yang sekarang menjadi manager hipwee community, ada Isnawati Hidayah mahasiswa Malang dengan kecerdasan intelektualnya yang terpilih menjadi Finalis Mahasiswa Berprestasi Nasional 2015, Ada Shinta yang saat ini menjadi Ambassador Hipwee malang dengan projek sosial yang memukau, Ada Panji Aziz mahasiswa UNPAD dan juga Founder Istana Belajar Anak Banten (ISBANBAN) yang tahun 2015 yang lalu terpilih menjadi pemuda intership ke Amerika melalui YSEALI Program, Ada Esha Saratoga mahasiswa UNDIP dengan segala prestasi organisasi kelautannya dan masih banyak lagi mahasiswa lain yang begitu menginspirasi.
Mereka mengubah paradigma berpikirku menjadi Out of the Box dan memacuku untuk terus mengukir prestasi. Sejak saat itu, di atas pesawat yang baru pertama kali kunaiki aku melukiskan harapan-harapan yang akan membawaku terbang lebih tinggi lalu meninggalkan jejak di awan dengan segudang inspirasi. “Terimakasih Allah telah menguatkan dan memberikan berkah sehingga aku melangkah sejauh ini, semoga Engkau terus membersamai hingga aku menjadi kupu-kupu dengan kepakan sayap indah yang memesona pasang mata” gumamku sambil memandang gugusan awan dilangit Wakatobi menuju Jakarta. 
          Energi positif yang kudapatkan di Wakatobi begitu kuat sehingga menjalar ke dalam alam bawah sadar yang membuat aku kecanduan berkompetisi. Kekuatan motivasi itu menghantarkanku menjemput prestasi yang lainnya. Menjadi Wakil 1 None Buku Jakarta Pusat 2014, menjadi Juara 2 Lomba Debat pendidikan Nasional di Makassar, menjadi pembicara dalam event-event nasional, mendapatkan IP 4 selama dua semester, menjadi juri dalam beberapa kesempatan serta berhasil menembuskan tulisan-tulisan ke media massa adalah sebagian kisah indah yang menjadi torehan prestasi penuh makna. Catatan prestasi itu menjadi pelipur lara saat kelelahan menggelayuti raga dan menjadi avtur yang siap membawaku menghidupkan mesin untuk mengudara.
Bukan hidup namanya jika aku terus berada dalam zona nyaman. Tidak akan indah sebuah catatan perjalan jika tidak menghasilkan Spektrum Warna dari setiap masalah yang ada. Akhir April Mei 2015, Tuhan yang Maha Kuasa memberikan aku ujian disaat aku nyaman dengan kehidupan kuliah dengan segala prestasi yang ada. Menjelang ulang tahun ibu ke 41,aku mendapati beliau dalam keadaan lemas tak berdaya di rumah ketika aku pulang kuliah.
Di tengah malam yang mencekam, kedatangan ayah disambut oleh kondisi ibu yang semakin parah Ayah memutuskan membawa ibuku ke rumah sakit. Seperti menelan pil pahit aku dan keluarga harus menerima kenyataan dengan kondisi ibu yang baru, Ibu yang saat ini masih meminum obat dan berjuang untuk sembuh.
Lorong rumah sakit kala itu, menjadi saksi tertorehnya duka yang memberikan pekat dalam bingkai cerita. Ada banyak airmata yang tumpah dengan isak yang tak mampu lagi tertahan dalam dada. 2 Mei 2015 menjadi pertama kalinya ibu merayakan ulang tahun di rumah sakit. Dalam kondisi setengah sadar setelah mendapatkan obat dan penanganan yang baik dari dokter, kubisikkan dengan penuh cinta di telinganya “Selamat Ulang Tahun mamah, semoga Allah merahmatimu dan dijadikan sakitmu sebagai penggugur dosa”

Seminggu lamanya aku dan ayah berada di rumah sakit itu. Aku belajar banyak hal atas kejadian yang menimpa ibu. Aku belajar bahwa aku harus lebih berjuang demi memberikan kehidupan bahagia untuk ibu. Aku belajar untuk selalu memberikan senyum terindah bagi ayah yang tak pernah berputus asa. Aku juga belajar untuk tidak menyerah pada keadaan yang ada karena ketika kita semakin menyerah hidup malah semakin menggerus tubuh tanpa daya. Satu pekan meninggalkan kuliah, aku bersama adikku harus pulang ke Jakarta. Dengan berat hati aku meninggalkan ibu dan Ayah di Banyumas beserta keluarga di sana. Sebelum pulang aku berpamitan dengan Ibu yang semakin hari perkembangannya semakin baik.
“ Mah, upi pulang dulu yah.. cepet sembuh mah,” ucapku sambil memeluknya
“Apip juga pulang dulu yah mah, ntar apip doain mamah tiap sholat, mamah kuat yah mah,”timpal adikku tak mau kalah.
Ibuku hanya tersenyum tanpa kata sambil menggerakkan kelopak mata seolah memberi isyarat tak ingin melihat aku dan adikku pulang ke Jakarta. Setelah berpamitan dengan Ibu, aku berpamitan dengan ayah. Kupeluk tubuh hangat penuh cinta yang mengajarkanku arti kesabaran.
Dengan diantar oleh paman, aku dan adikku pulang ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Dalam perjalanan tak ada yang mengisi logikaku selain harapan untuk kesembuhan ibunda. “Allah, Semoga Engkau menyembuhkan mamah untuk bisa bersama kami lagi,” gumamku penuh harap. Sesampainya di Jakarta, ada kabar bahagia di tengah duka yang melanda. Aku lolos menjadi “Cikgu” untuk anak-anak TKI di Sarawak, Malaysia. Namun, keberhasilanku saat ini kurasakan tidak seperti biasanya. Aku dilanda dilema dengan kondisi ibu yang masih butuh perhatian.
Aku berkonsultasi dengan Arfi, seseorang yang telah bersamaku dan kutemui menjadi rival lomba cerdas cermat di TVRI sejak tujuh tahun lalu. Dia orang yang selama ini, menyemangati ketika mimpiku terhenti kuliah di tahun 2012 karena gagal tembus PTN. Dia juga orang yang menjadi pendorong agar aku bisa menggapai prestasi untuk menginjakkan kaki di Luar Negeri.
Via Skype aku menghubungi arfi yang sedang di Turkey. Kuceritakan tentang kelolosanku dalam program VTIC dan dengan nadanya yang khas iya menyemangatiku “ Aku tahu kamu sedih atas kondisi mamahmu, tapi bukan berarti mimpimu harus terhenti. Berjuanglah minta izin padanya nanti setelah kondisi membaik. Niatkan prestasi kamu menjadi obat bahagia untuk mamah,”nasihatnya. 


Tiga minggu dirawat di rumah sakit, mamah kembali ke Jakarta Alhamdulillah beliau mengizinkanku pergi ke Malaysia untuk mengajar anak TKI sebulan lamanya. Hidup memang penuh teka-teki setiap harinya. Dengan cobaan aku belajar bahwa sedih dan senang datang beriringan.  Kali ini, Maret 2 2016 menjadi kejutan bagiku. Aku terpilih menjadi mahasiswa berprestasi tingkat Jurusan. Kejutan ini membuatku semakin percaya bahwa cobaan dariNya melatihku untuk memiliki kekuatan baja. Alhamdulillah setelah melalui perjuangan yang cukup terjal, Allah menakdirkan aku menjadi juara 1 Mahasiswa Berprestasi FIP (nantikan kelanjutan kisah Berjuang di Mawapres FIP yah )