Bu
Fauziah, Sang Lentera Surga
“Palupi..
Anak perempuan ibu yang hebat, semangat berjuang kamu pasti bisa! Chayyo!
Hehehe, love you.”-Sepenggal Voice note Bu Fauziah-
.
Ada kerinduan yang tak
mampu terbayar setiap kali mendengar voice
note dan membaca percakapan mesra via
whatsapp messenger almarhumah. Logika
ini begitu pandai memutar memori kebersamaan yang tersimpan dalam ruang
kenangan hingga air mata mengalir tanpa jeda.
Dalam perjalanan hidup
ini, banyak guru terbaik yang mengajarkanku, tapi tak ada yang dapat
menggantikan posisinya. Beliau bukan hanya sekadar guru Bahasa Indonesia, tapi
malaikat yang tak pernah sekalipun kulihat ada kemarahan di wajahnya. Walaupun sudah
enam tahun aku lulus dari jenjang SMP, beliau tetaplah ibu keduaku yang selalu menjadi tempat paling
nyaman untuk berbagi cerita baik mengenai pelajaran, kepenulisan maupun kehidupan.
Beliau adalah
penyemangat bagiku, karenanya saat ini aku mampu menerbitkan tulisan-tulisanku di
media massa. Beliau tak pernah lelah mendukungku untuk bermain aksara. Masih
sangat jelas dalam ingatan ketika aku duduk di kelas IX, beliau selalu
menyuruhku untuk menulis dan selalu berkata, “Palupi tulisanmu bagus, coba kirimkan ke majalah Gaul nanti ibu
berikan uang untuk ongkosnya.”
Sejak saat itu, aku
selalu memiliki semangat untuk mengembangkan bakatku dan memiliki keberanian mengirimkan karyaku
sampai akhirnya ketika duduk di bangku SMK, tulisanku mulai dilirik media
setelah berpuluh-puluh tulisan sebelumnya selalu menuai kegagalan. Pertama kali
tulisanku terbit di Media Indonesia, aku langsung mengabarinya dan datang ke SMP
32, lalu dengan sangat bahagia beliau mengapresiasiku, “Nah, benarkan kamu pasti bisa! Ibu selalu yakin pada kemampuan dan
kerja kerasmu. Selamat yaaah…”
Beliau bukan hanya
mengantarkan kesuksesanku dalam menulis, tapi beliau adalah salah satu kekuatanku
untuk mampu menjadi Wakil 1 None Buku Jakarta Pusat 2014. Sore hari di tengah
rintik hujan sebelum karantina aku mendatanginya dalam keadaan yang sangat lemah,
karena merasa kompetisi ini terlalu berat dan menguras air mata. Dengan tenang,
beliau mendengarkan ceritaku dan dalam tangisku beliau memelukku sambil
berkata, “Pi... dalam hidup ini kita
harus dihadapkan pada kerikil terjal untuk meraih kesuksesan...memang sakit tapi
ibu yakin air mata yang kamu teteskan akan berubah menjadi tawa saat kamu
dinyatakan sebagai juara, ibu tahu kamu pi.. kamu bukan seseorang yang gampang
menyerah, percaya deh! Allah selalu ada
untuk kita.”
Sore itu sepertinya
menjadi sore paling istimewa sebelum beliau menutup mata untuk selamanya. Empat
bulan yang lalu, tepatnya tanggal 24 Juli 2015 di bulan Ramadan beliau
meninggalkan dunia. Dengan senyum mengembang di wajahnya yang terbalut kain
kafan, kupandangi dalam-dalam wajah ibu guru kebanggaanku tak lagi bernyawa. Isak
tangis pecah mengiringi kepergiannya hingga ke pusara. Pada hari itu, sosok
terbaik di SMPN 32 Jakarta telah kembali pada Sang Maha Pemilik Semesta.
Semua guru, murid dan
alumnus SMPN 32 tak terkecuali aku begitu kehilangannya. Beliau guru terbaik
yang tak pernah mengeluh walau telah bertahun-tahun kanker payudara
menggerogoti tubuhnya. Tak banyak orang yang tahu akan sakitnya termasuk aku,
karena beliau selalu andal menyembunyikan kesusahan demi berbagi keceriaan
kepada setiap anak didiknya. Menurutku, Bu Fauziah adalah lentera surga yang
akan selalu ada. Terimakasih Ibu, kelak aku akan bercerita pada Tuhan bahwa
ilmu darimu mesti dihadiahi nirwana yang kau rindu.
Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" http://lagaligo.org/lomba-menulis.