“kemiskinan bukanlah takdir yang terus
menghambat kita menapaki dunia, tapi kemiskinan merupakan warna yang selalu
membuat kita semangat meraih cita “-Palupi Mutiasih BidikMisi UNJ 2013-
Aku merasa bangga dan
tak percaya ketika kata-kata mutiara dalam menggambarkan kemiskinan versi diriku
dan kukirimkan ke Twitter @BidikMisiUNJ, menjadi untaian motivasi yang
dibuat banner di acara Kampung Bidik Misi Jilid 3 2014. Berhasil
mendapatkan Bidikmisi adalah suatu anugerah luar biasa bagi anak dari seorang
pembantu dan buruh sepertiku. Dulu, jangankan bermimpi untuk kuliah. Niat
melanjutkan pendidikan ke SMA saja harus terkubur karena permintaan orangtua
yang menyuruhku ke SMK dengan harapan anaknya ketika lulus langsung bekerja dan
memperbaiki ekonomi keluarga.
Beasiswa Bidikmisi
seperti lentera bagi ruang gelap yang selama ini mengurungku. Bidikmisi membuat
palupi yang dulu hanya seorang pemimpi sekarang menjadi eksekutor untuk
mimpi-mimpinya. Berkuliah di kampus hijau yang terkenal dengan motto“Building
Future leader” dengan bidikimisi membuatku percaya bahwa tiada keterbatasan
bagi manusia yang ingin menembus batas.
Bersama Bidikmisi aku
belajar untuk bangkit dari sebuah keterpurukan. Wajah ibu yang kelelahan dalam
tidurnya setelah seharian menjajakan jasa bersih-bersih dari rumah ke rumah dan
wajah ayah yang pulang dengan noda hitam karena berkeliling memasang cctv
menjadi penyemangatku untuk kuliah dengan sungguh-sungguh lalu membawa mereka
dalam kehidupan yang lebih cerah. Tikus-tikus yang selalu mengganggu tidur
keluargaku setiap malam, menjadi motivasi untuk mengusir mereka dengan
membangun rumah yang indah sehingga ada surga yang selama ini didambakan.
Menjadi penerima
Bidikmisi UNJ tidak membuatku terlena dengan kenikmatan kuliah gratis dan
subsidi setiap bulan yang diberikan pemerintah. Namun, menjadi penerima
Bidikmisi merupakan tantangan bagiku. Ada uang rakyat Indonesia yang
diamanahkan kepada aku dan beribu-ibu mahasiswa lain yang beruntung mendapat
Bidikmisi. Maka berprestasi menjadi harga mati bagi penerima bidikmisi karena
menurutku, Prestasi adalah implementasi dari setiap rasa syukur untuk
nikmat kuliah dan mendapatkan bidikmisi”
Satu-persatu
kesempatanku melebarkan sayap baik di kampus maupun di luar kampus berdatangan
seiring doa dan harapan yang kupanjatkan. Tak peduli seberapa berat beban yang
ada pada pundakku dengan semangat menggenggam bidikmisi aku memaksimalkan diri
untuk mencapai prestasi.
Aku juga bersyukur
dikelilingi oleh orang-orang yang senantiasa mendukungku untuk mengeksekusi
mimpi-mimpi yang tertulis di dinding harapan. Memang benar kata pepatah, orang
hebat tidak lahir sendirian namun ada orang-orang dibalik layar yang menjadi
faktor keberhasilan mereka menggapai puncak kesuksesan.
Di tingkat pertama
kuliah, aku mendapat kesempatan menjadi delegasi UNJ dalam acara kepemudaan di
Wakatobi dan terpilih menjadi Duta Pariwisata Wakatobi 2014-2016. Di Pulau yang
terkenal dengan nirwana bawah lautnya, aku bertemu dengan puluhan mahasiswa
hebat dari seluruh nusantara. Ada Fanbul mahasiswa UII jogja dengan jiwa
sosialnya yang sekarang menjadi manager hipwee community, ada Isnawati
Hidayah mahasiswa Malang dengan kecerdasan intelektualnya yang terpilih menjadi
Finalis Mahasiswa Berprestasi Nasional 2015, Ada Shinta yang saat ini menjadi Ambassador
Hipwee malang dengan projek sosial yang memukau, Ada Panji Aziz mahasiswa
UNPAD dan juga Founder Istana Belajar Anak Banten (ISBANBAN) yang tahun 2015
yang lalu terpilih menjadi pemuda intership ke Amerika melalui YSEALI Program,
Ada Esha Saratoga mahasiswa UNDIP dengan segala prestasi organisasi kelautannya
dan masih banyak lagi mahasiswa lain yang begitu menginspirasi.
Mereka mengubah
paradigma berpikirku menjadi Out of the Box dan memacuku untuk terus
mengukir prestasi. Sejak saat itu, di atas pesawat yang baru pertama kali
kunaiki aku melukiskan harapan-harapan yang akan membawaku terbang lebih tinggi
lalu meninggalkan jejak di awan dengan segudang inspirasi. “Terimakasih
Allah telah menguatkan dan memberikan berkah sehingga aku melangkah sejauh ini,
semoga Engkau terus membersamai hingga aku menjadi kupu-kupu dengan kepakan
sayap indah yang memesona pasang mata” gumamku sambil memandang gugusan
awan dilangit Wakatobi menuju Jakarta.
Energi
positif yang kudapatkan di Wakatobi begitu kuat sehingga menjalar ke dalam alam
bawah sadar yang membuat aku kecanduan berkompetisi. Kekuatan motivasi itu
menghantarkanku menjemput prestasi yang lainnya. Menjadi Wakil 1 None Buku
Jakarta Pusat 2014, menjadi Juara 2 Lomba Debat pendidikan Nasional di
Makassar, menjadi pembicara dalam event-event nasional, mendapatkan IP 4 selama
dua semester, menjadi juri dalam beberapa kesempatan serta berhasil menembuskan
tulisan-tulisan ke media massa adalah sebagian kisah indah yang menjadi torehan
prestasi penuh makna. Catatan prestasi itu menjadi pelipur lara saat kelelahan
menggelayuti raga dan menjadi avtur yang siap membawaku menghidupkan mesin
untuk mengudara.
Bukan hidup namanya
jika aku terus berada dalam zona nyaman. Tidak akan indah sebuah catatan
perjalan jika tidak menghasilkan Spektrum Warna dari setiap masalah yang ada.
Akhir April Mei 2015, Tuhan yang Maha Kuasa memberikan aku ujian disaat aku
nyaman dengan kehidupan kuliah dengan segala prestasi yang ada. Menjelang ulang
tahun ibu ke 41,aku mendapati beliau dalam keadaan lemas tak berdaya di rumah
ketika aku pulang kuliah.
Di tengah malam yang
mencekam, kedatangan ayah disambut oleh kondisi ibu yang semakin parah Ayah
memutuskan membawa ibuku ke rumah sakit. Seperti menelan pil pahit aku dan
keluarga harus menerima kenyataan dengan kondisi ibu yang baru, Ibu yang saat
ini masih meminum obat dan berjuang untuk sembuh.
Lorong rumah sakit kala
itu, menjadi saksi tertorehnya duka yang memberikan pekat dalam bingkai cerita.
Ada banyak airmata yang tumpah dengan isak yang tak mampu lagi tertahan dalam
dada. 2 Mei 2015 menjadi pertama kalinya ibu merayakan ulang tahun di rumah
sakit. Dalam kondisi setengah sadar setelah mendapatkan obat dan penanganan
yang baik dari dokter, kubisikkan dengan penuh cinta di telinganya “Selamat
Ulang Tahun mamah, semoga Allah merahmatimu dan dijadikan sakitmu sebagai
penggugur dosa”
Seminggu lamanya aku
dan ayah berada di rumah sakit itu. Aku belajar banyak hal atas kejadian yang
menimpa ibu. Aku belajar bahwa aku harus lebih berjuang demi memberikan
kehidupan bahagia untuk ibu. Aku belajar untuk selalu memberikan senyum
terindah bagi ayah yang tak pernah berputus asa. Aku juga belajar untuk tidak
menyerah pada keadaan yang ada karena ketika kita semakin menyerah hidup malah
semakin menggerus tubuh tanpa daya. Satu pekan meninggalkan kuliah, aku bersama
adikku harus pulang ke Jakarta. Dengan berat hati aku meninggalkan ibu dan Ayah
di Banyumas beserta keluarga di sana. Sebelum pulang aku berpamitan dengan Ibu
yang semakin hari perkembangannya semakin baik.
“ Mah, upi pulang dulu
yah.. cepet sembuh mah,” ucapku sambil memeluknya
“Apip juga pulang dulu
yah mah, ntar apip doain mamah tiap sholat, mamah kuat yah mah,”timpal adikku
tak mau kalah.
Ibuku hanya tersenyum
tanpa kata sambil menggerakkan kelopak mata seolah memberi isyarat tak ingin
melihat aku dan adikku pulang ke Jakarta. Setelah berpamitan dengan Ibu, aku
berpamitan dengan ayah. Kupeluk tubuh hangat penuh cinta yang mengajarkanku
arti kesabaran.
Dengan diantar oleh
paman, aku dan adikku pulang ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Dalam
perjalanan tak ada yang mengisi logikaku selain harapan untuk kesembuhan
ibunda. “Allah, Semoga Engkau menyembuhkan mamah untuk bisa bersama kami lagi,”
gumamku penuh harap. Sesampainya di Jakarta, ada kabar bahagia di tengah duka yang
melanda. Aku lolos menjadi “Cikgu” untuk anak-anak TKI di Sarawak,
Malaysia. Namun, keberhasilanku saat ini kurasakan tidak seperti biasanya. Aku
dilanda dilema dengan kondisi ibu yang masih butuh perhatian.
Aku berkonsultasi
dengan Arfi, seseorang yang telah bersamaku dan kutemui menjadi rival lomba
cerdas cermat di TVRI sejak tujuh tahun lalu. Dia orang yang selama ini,
menyemangati ketika mimpiku terhenti kuliah di tahun 2012 karena gagal tembus
PTN. Dia juga orang yang menjadi pendorong agar aku bisa menggapai prestasi
untuk menginjakkan kaki di Luar Negeri.
Via Skype aku
menghubungi arfi yang sedang di Turkey. Kuceritakan tentang kelolosanku dalam
program VTIC dan dengan nadanya yang khas iya menyemangatiku “ Aku tahu kamu
sedih atas kondisi mamahmu, tapi bukan berarti mimpimu harus terhenti.
Berjuanglah minta izin padanya nanti setelah kondisi membaik. Niatkan prestasi
kamu menjadi obat bahagia untuk mamah,”nasihatnya.
Tiga minggu dirawat di
rumah sakit, mamah kembali ke Jakarta Alhamdulillah beliau mengizinkanku pergi
ke Malaysia untuk mengajar anak TKI sebulan lamanya. Hidup memang penuh
teka-teki setiap harinya. Dengan cobaan aku belajar bahwa sedih dan senang
datang beriringan. Kali ini, Maret 2
2016 menjadi kejutan bagiku. Aku terpilih menjadi mahasiswa berprestasi tingkat
Jurusan. Kejutan ini membuatku semakin percaya bahwa cobaan dariNya melatihku
untuk memiliki kekuatan baja. Alhamdulillah setelah melalui perjuangan yang
cukup terjal, Allah menakdirkan aku menjadi juara 1 Mahasiswa Berprestasi FIP (nantikan
kelanjutan kisah Berjuang di Mawapres FIP yah )