Friday, 10 November 2017

Tentang Skripsi





“ Skripsi menjadi petaka jika kemalasan melanda, menjadi kenikmatan tiada tara saat wisuda “ Palupi Mutiasih 


Skripsi, itulah topik bahasan paling renyah pada mahasiswa tingkat akhir. Sayapun mengalaminya. 20 September 2017 saya berhasil menaklukkan dan membayarnya dengan sebuah prosesi mengharukan bernama “Wisuda” dengan predikat mahasiswa yudisium terbaik pula.  Saat Rektor membacakan secara seksama prosesi pemindahan tali pada toga, ada airmata yang terbendung. Masa-masa perjuangan seolah terputar dengan sendirinya. Teringat bagaimana satu tahun menghabiskan waktu hanya denganya.
          Ada malam-malam panjang yang saya habiskan hanya untuk bengong dan bingung memikirkan bab per bab, revision sampai ujung-ujungnya ketiduran (wkwkwk). Ada jam-jam cemas menunggu dosen yang terkadang datang hanya dalam waktu lima menit lalu pergi lagi (Duh!, ini the gemesin *pake nada makuta* hihihi..). Ada pengalaman bolak balik revisi ahli sampai 7 kali layaknya thawaf mengelilingi ka’bah. Ada tangis sesegekan di Mushola saat merasa cobaan skripsi yang tak kunjung usai juga. Ada juga obrolan selingan tentang nikah untuk mengalihkan Padahal mah boro-boro pengen nikah. Skripsi aja susyah.
          Skripsi itu merupakan tantangan yang luar biasa. Skripsi bukan semata-mata menyelesaikan tugas  wisuda, tapi skripsi merupakan titik di mana kita akan belajar banyak hal terutama belajar sabar dan ikhlas. Dulu, saat melihat kaka kelas yang skripsinya lama, saya suka bertanya-tanya “ Kok bisa lama yah?” “ Kayaknya gampang deh kalo dikerjain” Gumam saya kala itu. Mungkin itu pikiran sombong saya karena gak merasakan apa yang kaka tingkat rasakan. Well! ketika keadaan di balik barulah saya merasakan bahwa KEMALASAN, KEBINGUNGAN dan KEBENGONGAN adalah 3 hal yang menghantui saya dan membuat lama.
Skripsi bukan tentang “ Siapa yang paling pintar di kelas, tapi siapa yang paling gigih berjunang meeeeeeeeeeeen” Sepintar apapun, kalau males ngerjainnya akan tertinggal dengan mereka yang paling gigih dan gak takut revisi. Biasanya (ini menurut pengamatan eyke yah) penyakit orang pinter adalah banyak mikirin ide tentang skripsinya tapi gak pernah dikerjain skripsinya dan hal itu kejadian sama saya.
          Saya sempat menggebu-gebu lulus 3,5 tahun. Saya berhasil SUP di awal November 2016, itu berarti kalau tidak ada hambatan saya akan lulus pada Maret 2017. Tetapi……………. karena saya males dan tertarik mengambil banyak job saya kehilangan kesempatan untuk wisuda di bulan Maret. Sedih gak? Pasti sedih tapi ini jadi cambuk bagi saya bahwa pintar saja tidak cukup untuk menaklukkan SKRIPSI. Skripsi seperti pacar, gak suka di duakan. Skripsi juga mengajarkan kita untuk menekan ego untuk fokus hanya dengan skripsi tercinta.
          Saat skripsi pertanyaan horror “Kapan selesai, udah bab berapa, kapan sidang” menjadi hantu yang muncul dari lisan siapa saja. Siap tidak siap, kita harus bisa menjawab itu walau jawabnya harus telan ludah terlebih dahulu. Saya kenyang rasanya mendengar pertanyaan itu, terlebih gelar mawapres membuat orang banyak berekspektasi lebih maka pertanyaan itu semakin horror buat saya (Hiks,Hiks).
Bulan Maretpun datang. Hati saya makin hancur melihat teman-teman saya di wisuda. Dilematis memang, saya bahagia dan bangga teman-teman saya di wisuda tapi batin saya menangisi kegagalan diri saya. Sampai kaka mentor saya menyarankan saya untuk tidak buka medsos hingga badai itu berlalu (Caelah). Tapi seriusan, hati saya remuk rasanya. “Kenapa saya gak berjuang lebih keras agar bisa memakai toga bersama mereka”, Tanya saya kala itu. Saya terpuruk? Ia karena 3,5 tahun jadi impian saya. Heeeeem tapi rasanya naïf bila saya menyesali kesalahan yang terus saya lakukan.
Sebagai pelampiasan, saya makin banyak ikut lomba-lomba agar nilai jual saya tak kalah karena gagal wisuda 3,5. Saya berusaha bangkit, mengumpulkan semangat dari awal, berjuang lagi, menyingkirkan ego lagi dan berusaha menerima takdir lulus 4 tahun itu juga baik. Saya berusaha menciptakan momen terbaik saya. Saya gunakan waktu semaksimal mungkin, saya turunkan ego “Perfectionist” yang saya punya.  Setiap revisi saya hadapi dengan lapang dada karena memang di situ seninya.  Revisi ada bukan karena karya kita kurang baik, tapi revisi membuat kita punya sudut pandang yang berbeda tentang karya kita dan membuatnya semakin kaya.
2 bulan menjelang waktu sidang di buka, Saya menikmati waktu bimbingan, tak peduli gimana susahnya mengejar tanda tangan. Saya berhenti terima kegiatan sebab tak dapat dipungkiri, hal tersebut mengganggu kefokusan. Saya terima segala kritikan, revision dan masukan. Saya kerjakan skripsi dengan segala drama yang ditunjukan. Printer ngadatlah, ngejar tanda tangan berkaslah, tinta habislah, bolak balik gandain skripsi sampe tangan mau copotlah dan lah lah lah yang lainnya (wkwkwkwkw) segala keribetan itu terus terjadi sampai akhirnya waktu sidang tiba.
 Dag Dig Dug hati saya tidak karuan, diuji professor yang kadang ditakutkan. Alhamdulillah semua berjalan lancer. Sebab sidang mengajarkan bagaimana mempertahankan idealism yang telah kita bangun lewat tulisan dan pengorbanan. Dosen Penguji adalah orang yang memastikan bahwa mahasiswanya siap menghadapi ujian idealism di masa depan. Dosen pembimbing adalah mereka yang mengarahkan agar kita tak goyah pada setiap keyakinan. Begitulah Hikmah sidang sesungguhnya.
Sidangpun berlalu, revision menunggu, Ini harus dikerjakan agar malas tak lagi datang. Jangan berharap setelah sidang cobaan sudah usai, masih ada revisi dan pemberkasan yang menantang. Siap-siap bawa 5 rangkap, naik turun tangga, ngejar tanda tangan dan lain sebagainya. Eittsss tenang, semua itu akan selesai jika DIKERJAKAN, sekali lagi semua itu akan SELESAI jika di KERJAKAN.
 Di akhir nanti…. Kita akan menyadari bahwa skripsi memberikan banyak pengalaman berharga yang tidak bisa dibeli. Skripsi mengajarkan kita bahwa Pintar bukan jaminan untuk selesai tanpa perjuangan. Skripsi adalah serangkaian perjalanan sabar yang tak ternilai. Skripsi bukan tentang diri kita sendiri, tapi bagaimana menyelaraskan pemikiran-pemikiran dengan orang lain yang itupun pasti akan terjadi saat kita kerja nanti. Skripsi adalah bagaimana kita menekan ego untuk tidak merasa “SUPER” sebab kadang ambisi merupakan senjata ampuh yang menghancurkan. Daaaaaan…… skripsi bukan siapa juga yang lulus duluan tapi siapa yang bisa mempertanggung jawabkan apa yang dibuatnya dan membawa kebermanfaatan bagi kehidupan. Daaaan percayalah tangisan, kekesalan, kecemasan, saat mengerjakan skripsi akan berubah menjadi lawakan konyol yang seru untuk dibahas pada reunian nanti.
Selamat mengerjakan skripsi Pejuang Toga!

2 comments:

  1. Hallo Kaka, kalau boleh tau judul skripsi Kaka apa? Dan alasan Kaka pilih judul itu apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Muria, Judul skripsiku Pengembangan Buku Cerita Bergambar Berbasis Pendidikan Karakter dalam menumbuhkan budaya literasi siswa kelas II SD. Alasannya, saya suka nulis, bacain cerita untuk anak dan kegiatan seputar literasi. Jadi, saya pilih Research And Development lalu mengembangkan buku cerita anak sebagai skripsi saya. Hehehe.

      Delete