“ Skripsi
menjadi petaka jika kemalasan melanda, menjadi kenikmatan tiada tara saat
wisuda “ Palupi Mutiasih
Skripsi, itulah topik bahasan paling renyah pada
mahasiswa tingkat akhir. Sayapun mengalaminya. 20 September 2017 saya berhasil
menaklukkan dan membayarnya dengan sebuah prosesi mengharukan bernama “Wisuda”
dengan predikat mahasiswa yudisium terbaik pula. Saat Rektor membacakan secara seksama prosesi
pemindahan tali pada toga, ada airmata yang terbendung. Masa-masa perjuangan seolah
terputar dengan sendirinya. Teringat bagaimana satu tahun menghabiskan waktu
hanya denganya.
Ada malam-malam panjang yang saya
habiskan hanya untuk bengong dan bingung memikirkan bab per bab, revision sampai
ujung-ujungnya ketiduran (wkwkwk). Ada jam-jam cemas menunggu dosen yang
terkadang datang hanya dalam waktu lima menit lalu pergi lagi (Duh!, ini the gemesin
*pake nada makuta* hihihi..). Ada pengalaman bolak balik revisi ahli sampai 7
kali layaknya thawaf mengelilingi ka’bah. Ada tangis sesegekan di Mushola saat
merasa cobaan skripsi yang tak kunjung usai juga. Ada juga obrolan selingan tentang
nikah untuk mengalihkan Padahal mah boro-boro pengen nikah. Skripsi aja susyah.
Skripsi
itu merupakan tantangan yang luar biasa. Skripsi bukan semata-mata
menyelesaikan tugas wisuda, tapi skripsi
merupakan titik di mana kita akan belajar banyak hal terutama belajar sabar dan
ikhlas. Dulu, saat melihat kaka kelas yang skripsinya lama, saya suka
bertanya-tanya “ Kok bisa lama yah?” “ Kayaknya gampang deh kalo dikerjain”
Gumam saya kala itu. Mungkin itu pikiran sombong saya karena gak merasakan apa
yang kaka tingkat rasakan. Well! ketika keadaan di balik barulah saya merasakan
bahwa KEMALASAN, KEBINGUNGAN dan KEBENGONGAN adalah 3 hal yang menghantui saya dan
membuat lama.
Skripsi bukan tentang “ Siapa yang paling pintar
di kelas, tapi siapa yang paling gigih berjunang meeeeeeeeeeeen” Sepintar
apapun, kalau males ngerjainnya akan tertinggal dengan mereka yang paling gigih
dan gak takut revisi. Biasanya (ini menurut pengamatan eyke yah) penyakit orang
pinter adalah banyak mikirin ide tentang skripsinya tapi gak pernah dikerjain
skripsinya dan hal itu kejadian sama saya.
Saya sempat menggebu-gebu lulus 3,5
tahun. Saya berhasil SUP di awal November 2016, itu berarti kalau tidak ada
hambatan saya akan lulus pada Maret 2017. Tetapi……………. karena saya males dan
tertarik mengambil banyak job saya kehilangan kesempatan untuk wisuda di bulan
Maret. Sedih gak? Pasti sedih tapi ini jadi cambuk bagi saya bahwa pintar saja
tidak cukup untuk menaklukkan SKRIPSI. Skripsi seperti pacar, gak suka di
duakan. Skripsi juga mengajarkan kita untuk menekan ego untuk fokus hanya
dengan skripsi tercinta.
Saat skripsi pertanyaan horror “Kapan
selesai, udah bab berapa, kapan sidang” menjadi hantu yang muncul dari lisan
siapa saja. Siap tidak siap, kita harus bisa menjawab itu walau jawabnya harus
telan ludah terlebih dahulu. Saya kenyang rasanya mendengar pertanyaan itu,
terlebih gelar mawapres membuat orang banyak berekspektasi lebih maka
pertanyaan itu semakin horror buat saya (Hiks,Hiks).
Bulan Maretpun datang. Hati saya makin hancur
melihat teman-teman saya di wisuda. Dilematis memang, saya bahagia dan bangga
teman-teman saya di wisuda tapi batin saya menangisi kegagalan diri saya.
Sampai kaka mentor saya menyarankan saya untuk tidak buka medsos hingga badai
itu berlalu (Caelah). Tapi seriusan, hati saya remuk rasanya. “Kenapa saya gak
berjuang lebih keras agar bisa memakai toga bersama mereka”, Tanya saya kala
itu. Saya terpuruk? Ia karena 3,5 tahun jadi impian saya. Heeeeem tapi rasanya naïf
bila saya menyesali kesalahan yang terus saya lakukan.
Sebagai pelampiasan, saya makin banyak ikut
lomba-lomba agar nilai jual saya tak kalah karena gagal wisuda 3,5. Saya
berusaha bangkit, mengumpulkan semangat dari awal, berjuang lagi, menyingkirkan
ego lagi dan berusaha menerima takdir lulus 4 tahun itu juga baik. Saya
berusaha menciptakan momen terbaik saya. Saya gunakan waktu semaksimal mungkin,
saya turunkan ego “Perfectionist” yang saya punya. Setiap revisi saya hadapi dengan lapang dada
karena memang di situ seninya. Revisi
ada bukan karena karya kita kurang baik, tapi revisi membuat kita punya sudut
pandang yang berbeda tentang karya kita dan membuatnya semakin kaya.
2 bulan menjelang waktu sidang di buka, Saya
menikmati waktu bimbingan, tak peduli gimana susahnya mengejar tanda tangan. Saya
berhenti terima kegiatan sebab tak dapat dipungkiri, hal tersebut mengganggu
kefokusan. Saya terima segala kritikan, revision dan masukan. Saya kerjakan
skripsi dengan segala drama yang ditunjukan. Printer ngadatlah, ngejar tanda tangan
berkaslah, tinta habislah, bolak balik gandain skripsi sampe tangan mau
copotlah dan lah lah lah yang lainnya (wkwkwkwkw) segala keribetan itu terus
terjadi sampai akhirnya waktu sidang tiba.
Dag Dig Dug
hati saya tidak karuan, diuji professor yang kadang ditakutkan. Alhamdulillah
semua berjalan lancer. Sebab sidang mengajarkan bagaimana mempertahankan idealism
yang telah kita bangun lewat tulisan dan pengorbanan. Dosen Penguji adalah
orang yang memastikan bahwa mahasiswanya siap menghadapi ujian idealism di masa
depan. Dosen pembimbing adalah mereka yang mengarahkan agar kita tak goyah pada
setiap keyakinan. Begitulah Hikmah sidang sesungguhnya.
Sidangpun berlalu, revision menunggu, Ini harus
dikerjakan agar malas tak lagi datang. Jangan berharap setelah sidang cobaan
sudah usai, masih ada revisi dan pemberkasan yang menantang. Siap-siap bawa 5
rangkap, naik turun tangga, ngejar tanda tangan dan lain sebagainya. Eittsss tenang,
semua itu akan selesai jika DIKERJAKAN, sekali lagi semua itu akan SELESAI jika
di KERJAKAN.
Di akhir
nanti…. Kita akan menyadari bahwa skripsi memberikan banyak pengalaman berharga
yang tidak bisa dibeli. Skripsi mengajarkan kita bahwa Pintar bukan jaminan
untuk selesai tanpa perjuangan. Skripsi adalah serangkaian perjalanan sabar
yang tak ternilai. Skripsi bukan tentang diri kita sendiri, tapi bagaimana
menyelaraskan pemikiran-pemikiran dengan orang lain yang itupun pasti akan
terjadi saat kita kerja nanti. Skripsi adalah bagaimana kita menekan ego untuk
tidak merasa “SUPER” sebab kadang ambisi merupakan senjata ampuh yang
menghancurkan. Daaaaaan…… skripsi bukan siapa juga yang lulus duluan tapi siapa
yang bisa mempertanggung jawabkan apa yang dibuatnya dan membawa kebermanfaatan
bagi kehidupan. Daaaan percayalah tangisan, kekesalan, kecemasan, saat
mengerjakan skripsi akan berubah menjadi lawakan konyol yang seru untuk dibahas
pada reunian nanti.
Selamat mengerjakan skripsi Pejuang Toga!